Tuesday, October 16, 2012

ISTANA KAYU ARA DI BERTAM HULU


Pada tahun 1511 Portugis menyerang Melaka. Oleh kerana serangan bertambah hebat, pembesar-pembesar telah menasihatkan Sultan Mahmud berpindah ke Istana hinggapnya iaitu Istana Kayu Ara yang terletak di Lembah Bertam (Bertam Hulu). Pada waktu itu Sultan Mahmud thelah menyerahkan kerajaannya kepada anaknya Sultan Ahmad.


Ketika di Istana Kayu Ara, Tun Teja telah gering. Waktu itu serangan Portugis bertambah hebat dan berita Portugis hendak menyerang Bertam melalui sungai Melaka talah sampai kepada sultan. Sultan telah diminta mengundurkan diri ke Bentayan (Muar).


Pada waktu iru Tun Teja sangat gering, Sultan Mahmud telah memerintahkan orang-orangnya menyediakan tandu untuk menandu Tun Teja ke Bentayan. Dari Bertam sultan Mahmud dan pengikut-pengikutnya telah bergerak ke Batu Hampar. Bersama-sama Sultan Mahmud ialah Seri Nara Diraja Tun Hamzah (Penasihat Raja) dan Sang Sura (Ketua Angkatan Perang). Selain dari itu ialah isteri-isteri, kaum kerabat diraja, pebesar-pembesar lain dan pengikut setianya. Dari Batu hampar mereka dipercayai, berundur memalui Bukit Katil, Duyung, Teluk Mas, serkam, Umbai dan ke Merlimau. Sepanjang jalan merentas hutan dan denai mereka sampai di satu kawasan tidak jauh dari pantai.

Mengikut sumber sejarah
“Setelah beberpa hari berjalan menuju ke Muar, pada
pada satu tempat yang tidak jauh dari tepi pantai, lalu
dengan perintah Sultan Mahmud, angkatan itu berhenti di
situ. Baginda menyuruh membuat tempat perhentian. Kata
baginda kepada Sang Sura dan Seri Nara Diraja, berjaga-
jagalah kita di sini sehari dua, beta rasa dinda beta Tun
Teja harus telah sampai saatnya.”

Kawasan yang di maksudkan itu ialah kawasan Pengkalan Samak, Merlimau yang sekarang. Di kawasan inilah angkatan Sultan Mahmud singgah sebelum meneruskan perjalanannya ke Muar. Kawasan ini terletak berhanlir dengan laut. Dahulu kira-kira 20-30 meter sudah sampai ke tepi pantai. Kini pantai sudah jauh ke laut, kira-kira 100 meter dari Pengkalan Samak. Kampung ini disebut sebagai Kampung MENTEJA.
Tun Teja direhatkan di atas sebuah hamparan khas. 

Sumber sejarah melaporkan”

“Setelah Tun Teja dipindahkan di atas hamparan dengan dikelilingi oleh isteri-isteri baginda yang lain, Sultan Mahmud duduk hampir dengan Tun Teja.tiba-tiba Tun Teja yang telah beberapa hari tidak berkata-kata memandang baginda dan dan dengan suara perlahan-lahan cuba hendak menyamaikan permintaan kepada baginda tetapi sia-sia kerana suaranya tidak kedengaran lagi……….. kemudian gerak bibirnya berhenti. Masa itu Sultan Mahmud pun tahulah isterinya telah meninggal dunia ..”

Sultan Mahmud merahap isteri kesayangannya sambil menangis terisak-isak. Berita kemangkatan Tun Teja diterima oleh seluruh angkatan Sultan dengan penuh kedukacitaan.

Setelah itu Sultan Mahmud berbincang dengan Seri Nara Diraja, Sang Sura dan ahli kelurganya bagaimana hendak membawa jenazah Tun Teja ke Muar, sedangkan perjalanan sangat jauh dan makan masa beberapa hari.

Setelah berbincang mereka bersetuju yang Tuan Teja hendaklah dimakamkan ditempat itu juga (Pengkalan Samak, Merlimau) dengan alasan Muar masih jauh, perjalanan makan masa 4 atau 5 hari, tidak ada kemudahan menyelamatkan jenazah yang mungkin menjadi terlalu uzur dan tidak menyiksa mayat. Semua bersetuju dimakamkan di kawasan itu.

Makam Paramjcura (Parameswara)?



Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins ("Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina") adalah kompendium (summa) yang ditulis oleh Tomé Pires pada tahun 1512-1515, berisi informasi tentang kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16. Naskah ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Emanuel tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis saat itu sehingga tidak pernah diterbitkan.

"...As they often went up the said Malacca River fishing, for a distance of a league or two away from the sea, they saw a large and spacious place nith large fields, and lovely waters, and they saw how well this place was adapted for a large town, and that they could sow large fields of rice there, plant gardens, pasture herds; sometimes they used to take their wives and ch~ldren there, and they used to make merry there; and they decided to settle there, and they give it the name of Bietam', which means spacious plain.."


"....The said Paramjcura (Parameswara) ordered the said place of Bjetao to be inspected up the river by persons whom he instructed to that effect, and they saw the said plain surrounded by beautiful
mountain ranges and abundant waters near the river which comes into Malacca, with many birds and animals, where there are lions, tigers and others of various kinds, as in fact there is no doubt that it is not easy to find a beautiful plain like this extending three or four leagues, and now greatly cultivated. At which all those who went to see it were very satisfied and so reported to the said Paramjcura, and he was very pleased, and all his people, at the prospect of living at greater ease..."

"....The said Paramjcura died in the said place of Bretao fairly
happy in a land of such freshness, of such f d t y and of such
good living, as anyone who comes to Malacca today can see.."

"..At this time Paramjcura fell ill and died. The kingdom descended to his son Xaquem Darxa (Sultan Iskandar Syah), and he ordered the people of Bretam to come, and only left people llke farmer there, and he sent all the Celate mandarins to live on the slopes of the Malaccahill to act as his guards.."


Bietam? Bjetao? Bretao? Bretam?  Bertam Hulu? Istana Kayu Ara?Anyone?

Friday, October 5, 2012

I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Ballapangkana


Nusantara kita terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah. Diantara pulau-pulau itu, ada sebuah pulau yang bentuknya menyerupai huruf K. Pulau itu tidak lain adalah Pulau Sulawesi. Dahulu, pada abad ke-15 sampai abad ke-17, di bagian pulau sulawesi terletak sebuah kerajaan yang besar dan disegani bernama kerajaan gowa. Menurut catatan para ahli, kerajaan gowa ini didirikan pada sekitar tahun 1300 Masehi dan dikenal serta disegani oleh bangsa Eropa kerena kebesaran dan kekuatan armada perangnnya. Salah satu raja yang memerintah kerajaan gowa itu adalah I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Ballapangkana (yang meninggal di istananya yang indah). Beliau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur". Raja Gowa ke-16 yang memerintah kerajaan gowa tahun 1653-1669 menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653.

I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin.

Masa Kelahiran Dan Remaja
Pada saat kelahiran dan masa kecil I Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum menjadi raja Gowa. Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun Hasanuddin adalah putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan perbuatannya selalu jujur. Dia sangat disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama dan memiliki semangat perjuangan.


Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun. Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya yang mengantikan kakek Beliau menjadi raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Mas remaja Hasanuddin diisi dengan kesibukan belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga dengan putra-putra raja Bone yang waktu itu menjadi tawanan kerajaan Gowa.

Pada usia 16 tahun Hasanuddin kerap kali hadir menyertai ayahnya dalam perundingan-perundingan penting. Dalam kesempatan itulah I Mallombasi Sultan Hasanuddin mulai belajar ilmu pemerintahan, diplomasi dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol, Hasanuddin juga banyak mendapat bimbingan dari ayahnya serta mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas. Pergaulan Hasanuddin tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, melayu, b\portugis dan inggris yang pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.

Pada usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan mewakili ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara yang bersahabat, membawa titah persatuan nusantara. Juga terutama pada daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa, Hasanuddin selalu mendapat tugas membawa amanat Raja Gowa yang tak lain adalah ayahnya sendri. Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.

Penobatan Sultan Hasanuddin Menjadi Raja Gowa Ke-16
I Mallombasi bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya. I Mallombasi diangkat menjadi raja karena adanya pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng Pattingaloang juga mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu diberikan karena sifat-sifat Hasanuddin yang tegasa dan berani. Juga kemampuan serta pengetahuan yang luas dan menonjol dari saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa memang memerlukan Raja yang berani serta bijaksana menghadapi perang dengan penjajah Belanda.

I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.

Masa Jaya Kerajaan Gowa
Lama sebelum Sultan Hasanuddin dilahirkan, Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang besar. Pelabuhan Makassar ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Portugis, Ingris dan Belanda. Pada masa Sultan Alauddin memerintah, Kerajaan Gowa telah tumbuh semangat persatuan nusantara dari kerajaan-kerajaan besar. Persahabatan akrab antara Raja Mataram di Pulau Jawa, Sultan Aceh di Sumatra, Sultan Ternate di Maluku, Sultan Banten di Jawa Barat dan lainnya.

Persaingan antara Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda menimbulkan ketegangan-ketegangan keren aketiga bangsa penjajah itu masiing-masing mau memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan perdagangan di Malaka. Kekuatan armada perang Kerajaan Gowa sudah terkenal kemana-mana. Persahabatan dengan Ternate, Bima, Ambon dan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi dan Maluku memberi kewajiban kepada armada perang Kerajaan Gowa untuk melindungi kerajaan itu dari serangan penjajah.

Sultan Muhammad Said ayah dari Sultan Hasanuddin terkenal sebagai seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tua, tahu membalas budi serta tidak mebeda-bedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai orang yang meperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling (Koromandel India), Saudagar di Masulipatan (India). Bersahabat dengan Raja Ingris, Raja Portugal, Raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula meberi gelar "Sultan Muhammad Said" Karena memang nama Arabnya adalah Malikussaid.

Awal Masa Perang
Perang pertama dengan Belanda terjadi pada saat Hasnuddin berumur 3 tahun. Tahun 1631 sampai 1634 armada Gowa dan Ternate saling serang dengan armada Belanda di perairan Maluku. Tahun 1634 Raja Gowa mengirim armada terdiri dari 100 perahu perang ke Ambon membantu rakyat Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon cengkeh dan pala di Maluku.

Raja Gowa berkewajiban melindungi kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu dikenal dengan nama perang Hongi. Setahun sesudah itu belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan memulai menembaki benteng galesong. Untunglah setahun sebelumnya benteng yang terbuat dari tanah itu sudah diubah dan dibuat dari batu, sedangkan perahu dan kapal perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik untuk menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini gagal total.

Keinginan Kompeni Belanda untuk mengusai dan menaklukkan Gowa makin kuat. Berbagai cara dipergunakan. Pada bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Anthony Van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Van Diemen meminta agar Raja Gowa melarang Portugis dan inggris berdagang di Makassar, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan Alauddin. Orang Belanda belum diluaskan untuk tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu Raja Gowa menerima tamu-tamu asing di istananya yang terdapat di dalam benteng Somba Opu.

Benteng Pertahanan
Pengepungan beberapa kali oleh kompeni Belanda terhadap pantai makassar menambah keyakinan bahwa kompeni Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan melaksanakan niatnya untuk merebut dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda memang mau memonopoli perdagangan rempah dari maluku. Sultan Hasanuddin yang waktu itu telah sering menjadi duta dan mengurus pertahanan Kerajaan Gowa dengan dukungan Karaeng Pattingaloang Mangkubumi Kerajaan Gowa mulai memperkuat benteng di sepanjang pantai.

Ada tiga 3 Benteng yang diperkuat dan dipasangi meriam. Benteng Somba Opu yang menjadi pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan, tebalnya 12 kaki. Benteng ini dipasangi meriam besar yang dijuluki "Anak Mangkasara" dan ada lebih 270 meriam-meriam kecil lainnya. Meriam "Anak Mangkasara" ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3 meter dan garis tengah lubang mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).

Selama perang antara Gowa dan Belanda berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan Hasanuddin kemudian membangun lagi benteng Mariso, Anak Gowa dan kale Gowa serta beberapa benteng lagi di daerah Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah kilometer antara Binanga Beru dan Ujung Tanah.

Benteng yang memperkuat Pantai Kota Makassar itu berjajar dari utara keselatan : Tallo (Mangngara' Bombang), Benteng Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong. Antara Tallo dengan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung tanah, antara Benteng Ujungpandang dengan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong terdapat benteng kecil Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja beristirahat.

Benteng Somba Opu, sebagai tempat kediaman Raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di sebelah timurnya yang bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa terdapat benteng Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).

Masa Perang Perlawanan
Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa memeliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-satunya halangan Belanda untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa dan armadanya. Selama lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang. Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut armada Kerajaan Gowa memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati ini karena budaya siri' na pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa dan Aru atau sumpah setia para prajurit Kerajaan Gowa.

Tahun 1645 adalah tahun yang penuh cobaan bagi Sultan Hasanuddin, belum cukup setahun menduduki tahta, Mangkubumi yang berani dan bijaksana I Mangngada' Cinna Karaeng Pattingaloang wafat. Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin, Karaeng Karunrung Putra Karaeng Pattingaloang naik menggantikan ayahnya sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.

Perang dua hari dengan pasukan Belanda pada April 1655 di Buton yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang Belanda terbunuh dalam peperangan ini. Belanda menyadari bahwa perang dengan Sultan Hasanuddin telah menelan biaya yang dan kerugian yang besar, maka diutuslah duta ke somba opu mewakili gubernur jendral belanda di Batavia. Utusan itu bernama Willem Van der beek dan menerima perjanjian tanggal 28 Desember 1655 yang berisi: "Pasukan Makassar yang berada di Maluku di tarik kembali, tukar menukar tawanan perang. Belanda berjanji, bila kerajaan Gowa berperang dengan salah satu bangsa maka kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa".

Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Willem Bastingh karena tidak senang melihat perdagangan antara Hitu, Seram dan Makassar berjalan lancar, karena ingin memonopoli perdagangan. Utusan itu membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Semangatnya semakin membara, setiap benteng diperlengkapi. Kompeni Belanda memilih perang, armada besar dipersiapkan 31 kapal perang dan 2700 tentara terlatih dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu oleh Johan Truytman. Peperangan ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya. Pada tangal 12 Juni 1660 Benteng Panakkukang jatuh ketangan Belanda.

Dengan semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor, dari kedua belah pihak berjatuhan banyak korban yang tewas dan luka.

Setelah itu gencatan senjata dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng Popo dan sejumlah bangsawan kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding. Hasilnya, adalah sebuah perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian itu bernama Perjanjian Batavia yang berisi:
  1. Makassar tidak boleh campur tangan soal Buton, Ternate dan Ambon.
  2. Banda, Buton, Maluku, Manado tidak boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.
  3. Orang Portugis dilarang berdagang di Makassar.
  4. Belanda Boleh Menetap di Makassar.
Sultan Hasanuddin terpaksa menanda tangani perjanjian itu,. Namun, perjanjian ini tidak berlangsung lama.

Belum hilang bekas perang dengan Belanda, Raja Bone melakukan pemberontakan dengan mulai memerangi Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta to Erung Bergelar Arung Palakka, sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin semasa kecil yang memimpin pemberontakan itu. Namun, laskar kerajaan Gowa dapat mematahkan pemberontakan itu pada tanggal 11 Oktober 1660. Arung Palakka bersama 4000 orang pasukannya menyingkir ke Buton dan mendapat perlindungan di sana. karena pada saat itu Sultan Buton telah bersekutu dengan Belanda.

Politik Memecah Belah
Belanda punya cara menaklukkan lawan. Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang terpecah-pecahdiadu satu sama lain. Kedatangan Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh Kompeni Belanda. Kerugian yang diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin cukup banyak dan sudah memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah terbuka, Arung Palakka bisa diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.

Sambutan terhadap Arug Palakka sangat meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk tempat tinggal Arung Palakka bersama pengikutnya. Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya. Persiapan sudah dilakukan. Benteng-bentang sudah diperbaiki. Merian dan alat perang sudah ditambah, prajurit juga ditambah. Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan suatu armada besar, pukulan terakgir untuk Kerajaan Gowa akan segera dilancarkan.

Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa pemberitahuan. Pengawal pantai mencegat dan perangpun terjadi, 16 pucuk merian disita. Pihak Belanda menuntut pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan perang saudara. Tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka dikumpulkan dalam suatu pertemuan di Batavia.

Mereka harus memerangi Sultan Hasanuddin, dan Belanda akan memberi bantuan. Sultan Hasanuddin sudah mengetahui cara Belanda itu, sikap lunak ditunjukkan karen aperang saudara harus dihindari. Sultan Hasanuddin mau berdamai tetapi meminta Belanda agar Bone, Buton dan Seram tidak dianak emaskan. Akan tetapi Belanda sudah berniat untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.

Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus dibebaskan terlebih dahulu, Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah ekspedisi ke timur. 700 buah kapal perang dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat menjadi laksamana muda kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.

Akhir Oktober 1666 Buton berhasil diduduki oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu, akan tetapi Buton dapat dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh Admiral Speelman dan Arung Palakka yang ikut dalam armada itu. Belanda telah berhasil mengadu domba antara kerajaan-kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling menyerang.

Perang Terbuka
Rapat penguasa Kolonial Belanda di Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segara menaklukkan Kerajaan Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin oleh Cornelius Speelman dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manipa dan sekutu-sekutu Belanda. Armada itu berangkat dari Batavia 24 Nopember 1666 dengankekuatan yang besarnya 21 buah kapal perang besar 600 orang tentara Belanda, 400 laskar Arung Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu tiba di depan bentang Somba Opu tanggal 15 Desember 1666.

Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai menjadi tegang. Menunggu saat-saat penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang bermukim disana menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan pasukan di seluruh benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan perang beberapa bulan, sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan rakyat sudah dipersiapkan pula.

Satu-satunya yang dikhawatirkan Sultan Hasanuddin adalah pasukan Bone yang berada di dalam daerah pertahanan Gowa yang sudah memberontak, dan armada perangnya dengan 700 kapal di bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu yang masih berada di Buton.

Saat-saat tegang Speelman mengirim utusan menemui Sultan Hasanuddin, utusan itu membawa tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang terdahulu. Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan. Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada dipihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami."

Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi buta tanggal 21 Desember 1666Bendera merah dikibarkan armada perang Speelman. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan pelurunya, udarapun dipenuhi asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar dan menyala-nyala. Perahu kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda. Dengan dilindungi oleh hujan yang sangat lebat armada semut perahu perang milik Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti armada perang Speelman. Speelman menhgundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan pantai.

Di Laikang pantai sebelah selatan Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung Palakka mencoba mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan semangat pantang menyerah. Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Tanggal 24 Desember 1666, armada Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang, berlayar ke selatan dan mendaratkan pasukannya di Bantaeng esok harinya. Perahu-perahu dagang yang ramai dipantai waktu itu dihantam dan ditenggelamkan. Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, tak luput pula lumbung beras Kerajaan Gowa ikut dibakar.

Laskar kerajaan Gowa menyerbu dan perangpun berkecamuk Perkelahian satu lawan satu terjadi. Korban berjatuhan dikedua belah pihak. Setelah bertempur sehari semalam Speelman mundur dan semua pasukannya ditarik naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan Hasanuddin dengan pasukan Raja-raja Buton, Ternate dan Bone untuk mengurangi kerugian dipihak mereka.

Kabar dari mata-mata Speelman juga memberitahukan bahwa armada inti kerajaan Gowa dibawah pimpinann Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700 kapal perangnnya. Inilah kesempatan menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin.

Tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada Karaeng Bontomarannu yang sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya Karaeng Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 januari 1667. Kemenangan ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda memberikan hadiah 100 ringgit setahun.

Armada Speelman berlayar ke Ternate. Arung Palakka mengirim pasukannnya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk pasukan baru untuk persiapan menyarang Gowa. Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasuka Ternate, Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli setelah sekitar 7000 orang pasukan Gowa menyerang tiba-tiba. Empat hari kemudian armada Belanda berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa. tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal perang Belanda. Benteng Somba Opu sudah dikepung dari laut.

Perang Menentukan
Perang yang menentukan telah tiba. Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pertahanan utam kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Karaeng Bontosunggu memimpin benteng Ujungpandang dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.

Tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari, Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan Belanda, dalam serangan ini persedian beras kerajaan Gowa di Galesong berhasil dibakar Belanda. Hari demi hari perang berkecamuk. Diawal September 1667 Speelman memindahkan perhatiannya. Di daratan 6000 orang pasukan Arung Palakka bersama Kapten Poolman menyerang Galesong dan Barombong. Dengan meriam besar jarak jauh milik pasukan Gowa mengusir armada Speelman. Di darat pasukan Arung Palakka berhasil dipukul mundur.

Keadaan ini membuat Speelman meminta bantuan  dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang besar dibawah komando Kapten P. Dopun. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Speelman dan Dupon mengepung rapat Makassar. Dengan meriam-meriam besar, benteng Barombong dibobol. Pasukan Speelman didaratkan di Galesong dibantu Arung Palakka. Somba Opu dikepung dari laut maupun darat. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton dan Maluku, korban berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda.

Kedua belah pihak sudah sangat kelelahan. Tanggal 5 Nopember 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. 182 serdadu dan 95 matros jatuh sakit. Pasukan Buton, Ternate dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman minta dikirimi lagi perlengkapan dan prajurit. Pasukan Sultan Hasanuddin juga mengalami hal serupa. Pertempuran selama berbulan dan pengepungan benteng sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan Hasanuddin. Setelah 4 hari bertempur, benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat semangat prajurit Gowa masih membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan perang.

Sultan Hasanuddin dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri. Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan bahwa pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera dihentikan.

Meneruskan perang hanya akan menguntungkan Belanda. Perundingan antara Speelman dan Sultan Hasanuddin diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut Belanda. Setalah berkali-kali berunding, maka pada hari Jum'at tanggal 18 November 1667, tercapailah suatu perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai "Cappaya Ri Bungaya" atau perjanjian Bungaya. Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena memberatkan kerajaan Gowa. Benteng Ujungpandang diserahkan kepada Speelman dan diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam". Speelman juga mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang, karena keyakinannya bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.

Perang Terakhir
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak menerima perjanjian Bungaya. Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap. "Hanya Mayat yang bisa menyerah". Karaeng Karunrung mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan Perjanjian Bungaya. Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668. Karaeng Karunrung menyerang benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam). Hari demi hari bulan demi bulan perang terus berkecamuk.

Dalam catatan buku harian Speelman tertulis antara lain: "Pertempuran berlangsung sengit. Banyak orang Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita luka. Setiap hari 7 atau 8 orang serdadu Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang dokter, 15 pandai besi tewas. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam benteng Ford Rotterdam dan 52 orang tewas di kapal".

Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk melakukan perbaikan kembali benteng yang rusak. Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada serangan ini Arung Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan dan peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat dan larasnya diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan ke benteng Somba Opu sudah dibuat, persiapan Belanda sudah matang.

Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman menyerang benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang dan malam. Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru ke benteng Somba Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda dan hujan peluru.

Setelah perang selama selama 10 hari siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Tdak kurang 272 pucuk meriam besar dan kecil termasu meriam keramat "Anak Mangkasara" dirampas Speelman. Sultan Hasanuddin mundur ke benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di Bontoala mundur ke Benteng Anak Gowa.

Benteng Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah, beribu-ribu kilo amunisi meledakkan benteng yang tebalnya 12 kaki ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana. Hangus dibakar ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh Istana Somba Opu dihancurkan.

Sultan Hasanuddin kalah perang, tetapi menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu yang paling lama dari yang pernah dialami Belanda dibumi Nusantara waktu itu. Sultan Hasanuddin dan Pasukannya dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur" karena semangatnya yang pantang mundur.

Turun Tahta Dan Wafat
 kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan Hasanuddin dari benteng Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa terus dilancarkan. Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.

Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara. Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan.

Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.


I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di dada setiap insan bangsa yang mendambakan perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila ini.

Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan namanya menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas Hasanuddin sebagai salah satu universitas terkemuka di INdonesia bagian Timur, mempergunakan namanya dan memakai lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan menjadikan semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan dengan keputusan Presiden RI No. 087/TK?tahun 1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanannya.


Sumber http://lobelobenamakassar.blogspot.com/2012/02/riwayat-perjuangan-sultan-hasanuddin.html#ixzz28Tn85g4o